Sudah Bayar Sekolah Anak, Tapi Mengajar Sendiri: Pusing!
Penulis: Riza Gustanti | Editor: OmuDesk
Meskipun telah menyesuaikan diri dengan keadaan pandemi selama kurang lebih satu setengah tahun, sistem pendidikan di sekolah dasar (SD) belum mengalami perkembangan yang signifikan, terutama di daerah pedesaan.
Pembelajaran masih menggunakan media asinkron seperti Whatsapp. Hal ini dilakukan guru dengan cara memberikan video penjelasan secara singkat, kemudian siswa diminta menyimak dan mengerjakan tugas yang terlampir.
Tugas ini kemudian difoto dan dikirimkan melalui Whatsapp ke guru terkait.
Sementara itu, penilaian harian dan evaluasi dilakukan dengan cara pengambilan
tugas cetak ke sekolah oleh siswa. Tugas cetak ini dikerjakan sendiri di
rumah, lalu dikumpulkan ke sekolah seminggu setelahnya. Singkatnya, sekolah
hanya sedikit menyampaikan materi sehingga kurang memahamkan tetapi banyak
memberikan tugas.
Penjelasan dari guru yang sangat singkat bukan
merupakan komunikasi dua arah. Pihak guru sendiri pun mengalami kebingungan
ketika menjelaskan materi pelajaran dengan fasilitas yang kurang memadai
proses pembelajaran.
Illustrasi "Distance Learning". (Photo: Pixabay) |
Jika penjelasan materi dilakukan dengan tatap muka, tentu saja guru dapat bertindak setelah memperhatikan reaksi dari para siswa.
Siswa kelas satu SD, terutama, akan sangat kesulitan dalam memahami materi pelajaran ketika disuruh belajar mandiri. Lebih sulit lagi apabila mereka belum lancar baca-tulis. Tentu saja, orang tua yang turun tangan.
Alhasil, guru menganggap siswa telah paham dengan penjelasan singkat mereka.
Hal ini tentu menimbulkan permasalahan dalam jangka panjang, terutama bagi
para siswa yang ternyata belum paham namun dipaksa maju terus karena harus
mengejar silabus.
Kebanyakan siswa kelas satu SD belum bisa
baca-tulis dengan lancar.. Hal ini wajar, mengingat usia siswa pada kelas
tersebut masih tergolong dalam usia bermain. Pelajaran yang mereka dapatkan
ketika belajar di taman kanak-kanak pun lebih menitikberatkan pada kegiatan
praktikal dan kreatif, seperti menyanyi, meronce, menggambar, membuat
kerajinan dan kegiatan lainnya.
Jika belum bisa membaca dengan lancar, bagaimana siswa ini bisa mengerjakan
soal yang perlu dibaca secara mandiri? Tentu saja siswa memerlukan pendamping
yang dapat mengajarnya secara langsung.
Namun, tidak semua siswa
memiliki pendamping yang dapat mengajar siswa dengan efektif. Beberapa siswa
memiliki orang tua yang bekerja siang-malam. Ditambah dengan kondisi pandemi
yang semakin susah untuk mencari nafkah, kedua orang tua harus rela
meninggalkan anaknya untuk bekerja.
Hal ini diakui oleh Bu Afri (29), yang menitipkan anak beliau di rumah kakek dan neneknya. Selain bekerja di toko milik orang lain, Bu Afri juga mengurus toko online miliknya serta mengurus pekerjaan rumah tangga sendiri.
“Kalau siang, saya kerja di Jogja. Malam harinya saya membungkus paket untuk
dikirimkan. Kadang, sudah capek bekerja untuk membayar sekolah anak, saya
masih harus mengajari anak saya mengerjakan tugasnya. Padahal sudah membayar
sekolah, eh, saya sendiri yang harus ngajarin. Pusing!” (Afri, komunikasi
pribadi, 23 Agustus 2021)
Masalah Bu Afri tersebut merupakan salah
satu contoh dari dampak COVID-19 di bidang pendidikan, di mana profesi guru
tidak dapat berfungsi secara maksimal karena keterbatasan media
komunikasi.
Solusi terbaik adalah dengan mengatasi pandemi itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah telah mengupayakan berbagai cara untuk mengurangi penyebaran virus corona, seperti mengadakan program vaksinasi gratis hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Melalui kebijakan tersebut, diharapkan kasus COVID-19 di Indonesia tidak
mengalami lonjakan kenaikan, sehingga dampak-dampak pandemi bisa segera
diatasi, sekolah-sekolah dapat kembali dibuka, dan Indonesia kembali ‘sehat’
seperti sedia kala.
Posting Komentar