Tahukah Kamu Kalau Perang Nuklir Bisa Terjadi Karena Kesalahpahaman?
Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 2020, Jepang memperingati 75 tahun dijatuhkanya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa tersebut menandai berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Seminggu setelah bom atom diledakan oleh tentara sekutu, tepatnya pada tanggal
15 Agustus 1945 waktu setempat, Kaisar Hirohito melalui radio menyatakan bahwa
Jepang menyerah.
Soekarno-Hatta, beserta para pemuda dan tokoh
lainya, memanfaatkan status quo tersebut untuk memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Secara tidak langsung, kedua bom atom tersebut membuka jalan bagi kemerdekaan bangsa kita.
Baca juga: Apa Itu Amonium Nitrat? Ledakan Dahsyat di Beirut Dibandingkan Dengan Hiroshima
Bom atom "Little Boy" dan "Fat Man" merupakan satu-satunya senjata nuklir yang pernah digunakan dalam peperangan. Ribuan bom atom lainya kemudian diproduksi selama masa Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni soviet.
Dalam periode 1947 hingga 1991, setidaknya 14,000 senjata nuklir telah dibuat. Risiko perang nuklir pun naik secara signifikan.
Walaupun Perang Dingin saat ini telah usai, ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada tanggal 25 Desember 1991, ribuan senjata nuklir masih disimpan dan siap digunakan oleh negara-negara adidaya.
Sampai sekarang, kita masih sering
merasa khawatir kalau perang nuklir bisa terjadi sewaktu-waktu.
Ada beberapa momen dalam sejarah ketika negara adidaya hampir menggunakan
senjata nuklir karena ketidaksengajaan dan kesalahpahaman.
Insiden Beruang Hitam di Pangakalan Nuklir Amerika Serikat
Pada tanggal 25 Oktober 1962, seekor beruang hitam memanjat pagar di sebuah bandara militer di Duluth. Insiden tersebut hampir memicu perang nuklir.
Pada saat itu, Krisis Rudal Kuba sedang berada pada tahap yang paling menegangkan. Negosiasi antara Presiden Amerika Serikat (AS) John F. Kennedy dan pemimpin Soviet Nikita Khrushchev belum membuahkan hasil.
Status kesiagaan perang nuklir DEFCON 3 pun dideklarasikan untuk pertama kalinya.
Penjaga pangkalan udara AS melihat sebuah sosok gelap memanjat pagar keamanan Direction Center Sektor Duluth. Dia mengira sosok tersebut adalah pasukan khusus "Spetnaz" Soviet Rusia yang akan melakukan sabotase.
Sang penjaga yang meresa gugup, efek psikologis dari tingkat kesiagaan tinggi, kemudian menembak beruang hitam tersebut.
Tembakan tersebut kemudian memicu alarm sabotase yang terhubung dengan sistem alarm di beberapa pangkalan militer lainnya. Namun, di Volk Field, Wisconsin, sistem alarm pangkalan militer mengalami malfungsi. Akbibatnya alarm yang salah pun terdengar di pangkalan udara Volk Field.
Klaxon, tipe alarm yang memperingatkan bahwa serangan telah terjadi, bergaung di pangkalan udara tersebut. Mengingat tingkat kesiagaan DEFCON 3, para pilot pesawat tempur segera bersiap lepas landas.
Dua skuadron jet tempur F-106A bergegas dikerahkan. Pesawat tersebut membawa empat rudal udara-ke-udara konvensional dan sebuah roket seberat 800 pon yang berhulu ledak nuklir.
Para pilot mengira bahwa perang nuklir telah dimulai.
Untungnya, sebelum jet tersebut sempat lepas landas, seorang perwira melaju ke
arah landasan dengan menggunakan sebuah mobil dan berhasil menghentikan
peluncuran jet tempur.
Bisa dibayangkan jika squadron tersebut berhasil lepas landas. Pesawat
tempur AS mungkin akan menyerang aset militer milik Soviet dengan senjata
nuklir hanya gara-gara seekor beruang hitam.
Insiden Roket Norwegia
Pada tanggal 25 Januari 1995, Presiden Rusia, saat itu Boris Yeltsin, menjadi pemimpin dunia pertama dalam sejarah yang mengaktifkan "Nuclear Briefcase" atau tas kerja nuklir.
Tas tersebut berisi instruksi dan teknologi untuk memerintahkan peluncuran
rudal berhulu ledak nuklir.
Operator radar Rusia mendeteksi bahwa sebuah roket telah
diluncurkan dari lepas pantai Norwegia. Pihak rusia mengamati roket tersebut dengan
dengan rasa curiga. Ke mana tujuannya? Apakah roket itu diluncurkan oleh musuh?
Roket Black Brant XII sebenarnya hanya membawa peralatan ilmiah untuk mempelajari aurora borealis di atas pulau Svalbard. Namun, ketika roket tersebut mencapai ketinggian 1453 kilometer (903 mil), pihak militer rusia mengira kalau kapal selam Angkata Laut AS telah menembakan rudal balistik Trident.
President Yeltsin pun mengaktifkan tas kerja nuklir dan bersiap untuk memerintahkan peluncuran nuklir balasan. Untungnya, sebelum keputusan diambil, pihak militer Rusia sadar kalau roket tersebut bukan senjata nuklir.
Jika saja President Yeltsin memutuskan untuk menyerang, kapal selam Rusia siap menembakan misil berhulu ledak nuklir ke arah aset militer Amerika Serikat.
Tas Kerja Nuklir
Nuclear briefcase merupakan tas kerja yang berisi sebuah perlatan portable untuk meluncurkan rudal berhulu ledak nuklir. Di Amerika Serikat peralatan ini dikenal juga sebagai Nuclear Football.
Tas kerja nuklir selalu dibawa oleh seorang ajudan presiden. Jadi, ketika presiden berpergian, dia masih bisa memerintahkan untuk meluncurkan serangan nuklir di mana pun dan kapan pun. Perang nuklir bisa dilakukan secara portabel!
Tanggung Jawab Besar
Terdapat banyak insiden lain yang hampir memicu perang nuklir. Dua insiden tersebut hanyalah sedikit contoh bahwa perang nuklir bisa saja terjadi karena hal yang sepele.
Solar flare, kawanan angsa, pemadaman listrik, bulan, dan false alarm di Hawaii pada tahun 2018; hal yang kelihatanya tidak signifikan sering disalahartikan sebagai bukti bahwa serangan nuklir telah terjadi karena faktor human error.
Apabila serangan nuklir terlanjur dilakukan, baik karena sengaja atau tidak,
rudal tidak bisa di hentikan.
Williap Perry, menteri pertahanan AS dibawah kepresidenan Bill Clinton, berpendapat bawah
jika seorang presiden menanggapi alarm atau peringatan serangan yang salah,
maka dia secara tidak sengaja telah memulai perang nuklir.
Rudal
tidak bisa dipanggil kembali maupun dihancurkan sebelum mencapai tergetnya.
Ngeri memang membayangkan para pemimpin negara adidaya membawa alat yang bisa
digunakan untuk mengancurkan peradaban manusia.
Seperti kata pamanya Spider-Man, "With great power, comes great
responsibility".
Posting Komentar